LATAR BELAKANG UPACARA ADAT TULUDE
Tidak
ada yang mengetahui secara pasti kapan dan dimana untuk pertama kalinya upacara
adat Tulude itu dimulai. Namun menurut C.Y
Harindah salah seorang pemberi materi tentang upacara adat Tulude pada temu budaya tahun 1994, bahwa diperkirakan upacara adat Tulude mulai dilaksanakan
pada abad ke XVII.
Pelaksanaan upacara adat Tulude merupakan asimilasi atau usaha penyelarasan
kebudayaan masyarakat Sangihe waktu itu dengan pandangan agama Kristen dan
Islam yang masuk ke Sangihe. Selanjutnya untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang upacara adat Tulude, kita perlu menelusuri kehidupan para leluhur masyarakar Sangihe di jaman dahulu. Nenek moyang suku Sangihe adalah Penganut kepecayaan terhadap roh-roh halus
penguasa alam semesta ini, Antara lain :
Panunggu
Panunggu adalah sebutan Nenek
moyang suku Sangihe terhadap penjaga/penguasa yang dipercaya menghuni setiap
pohon, bangunan rumah, gedung, perahu besar, jembatan, banua pulau, desa tempat kediaman
dan lain sebagainya.
Pada saat tertentu panunggu
itu diberi makan (sajian), terutama setelah suatu pekerjaan atau pembangunan telah
selesai dilaksanakan. Kealpaan dalam mempersembahkan sajian diyakini dapat
menimbulkan malapetaka seperti penyakit, kelaparan, gagal panen dan bencana
alam.
ARWAH
Orang yang meningal dunia,
terutama orang tua pemberani atau arwah penguasa setempat dipercaya oleh para
leluhur suku sangihe bahwa ia tinggal tetap menyertai anak cucu, turun temurun
dan akan datang secara spontan ketika dalam bahaya atau dalam keadaan sakit apalagi
kalau dipanggil. (metahalena)
Selain arwah, nenek moyang
suku sangihe juga percaya bahwa ada roh-roh seperti setan (iblis) makabanasa,
jin, mongang lahu dan lain-lain. (buku D Briman). Roh-roh ini dapat dijadikan
kawan tapi juga bisa jadi lawan.
Untuk menjadikan mereka sebagai kawan maka manusia perlu
memeberikan sesaji atau bahkan berupa barang-barang berharga seperti perhiasan melalui
seseorang yang disebut ampuang. Konon kabarnya yang dekenal sebagai sebagai
agama harun. Dimana yang dipersembahkan adalah manusia (gadis). Jadi dalam
suatu upacara pengorbanan maka gadis yang dipersembahkan itu digantung
hidup-hidup lalu ditusuk-tusuk dengan tombak dan darahnya diminum oleh Ampung.
Dalam perkebangan selanjutnya tolang ini diganti dengan seekor babi. Pada perkebangannya tolang hanya hanya secara
simbolik dengan mereka membuat ijuk yang dibentuk seperti babi sedangkan
seorang gadis hanya dihias tapi tidak lagi dikorbankan.
Ada hal sejenis namun
dalam ukuran kecil yaitu menyajikan makanan berupa nasi kuning dan telur matang
yang diletakan diatas batu atau dibawah pohon besar yang dikenal dengan istilah
menale. Ritual ini dilakukan untuk kepentingan
pribadi atau keluarga, dengan tujuan mendapatkan perlindungan, kesejahteraan,
dll. Namun kadang-kadang dilakukan juga untuk menyakiti orang lain yang dikenal dengan istilah memaluhe.
Masuknya agama di daerah
kepulauan Sangihe membawa tatanan perubahan pada nilai-nilai masyarakat
leluhur, bahkan perubahan itu sampai menyentuh pada persoalan paling hakiki
manusia yaitu kepercayaan, sehingga acara adat seperti yang dikemukakan diatas
dimodifikasi dan diambil nilai-nilai postifnya saja dan diarahkan pada
kepercayaan terhadap Genghonalagi Duatan Saruruang.
Dalam hal pemberian sesaji
berupa makanan dan sejenisnya kepada roh-roh atau penguasa, telah diarahkan kepada
acara makan bersama yang dikenal dengan sebutan salimbangu Wanua.
Sehubungan dengan kepercayaan
terhadap Ghenggonalangi, maka ahlak/kharakter manusia mendapat sorotan tajam
terutama tentang sumbang sina. Dimana jika seseorang kedapatan melakukan
perbuatan ini maka hukumannya adalah ditenggelamkan di laut.
Berdasarkan cerita
turun-temurun yang melegenda di tengah masyarakat Suku Sangihe, dipercaya bahwa
tenggelamnya sebagian dari pulau Sangihe pada abad ke XI merupakan hukuman
terhadap perbuatan sumbangsina
Makakundai dengan Tampilangkahe. Demikian pula hilangnya kerajaan maselihe pada
tahun 1711 adalah akibat perbuatan sumbangsina Samansialang dengan
Tandingbulaeng.
Menurut cerita, yang
teakhir mejalani hukuman berat itu adalah Bawantuse dan Kanangang yang timbul
dan tenggelam lagi setelah mnyampaikan pesan : jika ada yang melakukan perbuatan
sumbang sinah lagi, maka kami akan duduk di banjir, gempa bumi, di hama
penyakit dll. Demikian seterusnya diyakini bahwa perbuatan yang tidak senonoh
akan mendatangkan malapetaka bagi negeri itu sendiri.
Hubungan sebab akibat ini
merupakan salah satu alasan perlu adanya pelaksanaan upacara adat Tulude di
tengah masyarakat......(bersambung)
(Narasumber: Nichlas Mehare)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar