Senin, 03 Maret 2014

Upacara Adat tulude

LATAR BELAKANG UPACARA ADAT TULUDE

 Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dan dimana untuk pertama kalinya upacara adat Tulude itu dimulai. Namun menurut  C.Y Harindah salah seorang pemberi materi tentang upacara adat Tulude pada temu budaya tahun 1994, bahwa diperkirakan upacara adat Tulude mulai dilaksanakan pada abad ke XVII.
        Pelaksanaan upacara adat Tulude merupakan asimilasi atau usaha penyelarasan kebudayaan masyarakat Sangihe waktu itu dengan pandangan agama Kristen dan Islam yang masuk ke Sangihe. Selanjutnya  untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang upacara adat Tulude, kita perlu menelusuri kehidupan para leluhur masyarakar Sangihe di jaman dahulu.  Nenek moyang suku Sangihe  adalah Penganut kepecayaan terhadap roh-roh halus penguasa alam semesta ini, Antara lain :

             Panunggu
          Panunggu adalah sebutan Nenek moyang suku Sangihe terhadap penjaga/penguasa yang dipercaya menghuni setiap pohon, bangunan rumah, gedung, perahu besar,  jembatan, banua pulau, desa tempat kediaman dan lain sebagainya.
Pada saat tertentu panunggu itu diberi makan (sajian), terutama setelah suatu pekerjaan atau pembangunan telah selesai dilaksanakan. Kealpaan dalam mempersembahkan sajian diyakini dapat menimbulkan malapetaka seperti penyakit, kelaparan, gagal panen dan bencana alam.
              ARWAH
Orang yang meningal dunia, terutama orang tua pemberani atau arwah penguasa setempat dipercaya oleh para leluhur suku sangihe bahwa ia tinggal tetap menyertai anak cucu, turun temurun dan akan datang secara spontan ketika dalam bahaya atau dalam keadaan sakit apalagi kalau dipanggil. (metahalena)
Selain arwah, nenek moyang suku sangihe juga percaya bahwa ada roh-roh seperti setan (iblis) makabanasa, jin, mongang lahu dan lain-lain. (buku D Briman). Roh-roh ini dapat dijadikan kawan tapi juga bisa jadi lawan.
Untuk menjadikan  mereka sebagai kawan maka manusia perlu memeberikan sesaji atau bahkan berupa barang-barang berharga seperti perhiasan melalui seseorang yang disebut ampuang. Konon kabarnya yang dekenal sebagai sebagai agama harun. Dimana yang dipersembahkan adalah manusia (gadis). Jadi dalam suatu upacara pengorbanan maka gadis yang dipersembahkan itu digantung hidup-hidup lalu ditusuk-tusuk dengan tombak dan darahnya diminum oleh Ampung. Dalam perkebangan selanjutnya tolang ini diganti dengan seekor babi.  Pada perkebangannya tolang hanya hanya secara simbolik dengan mereka membuat ijuk yang dibentuk seperti babi sedangkan seorang gadis hanya dihias tapi tidak lagi dikorbankan.
Ada hal sejenis namun dalam ukuran kecil yaitu menyajikan makanan berupa nasi kuning dan telur matang yang diletakan diatas batu atau dibawah pohon besar yang dikenal dengan istilah menale. Ritual ini dilakukan untuk kepentingan pribadi atau keluarga, dengan tujuan mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, dll. Namun kadang-kadang dilakukan juga untuk menyakiti orang lain  yang dikenal dengan istilah memaluhe.
Masuknya agama di daerah kepulauan Sangihe membawa tatanan perubahan pada nilai-nilai masyarakat leluhur, bahkan perubahan itu sampai menyentuh pada persoalan paling hakiki manusia yaitu kepercayaan, sehingga acara adat seperti yang dikemukakan diatas dimodifikasi dan diambil nilai-nilai postifnya saja dan diarahkan pada kepercayaan terhadap Genghonalagi Duatan Saruruang.
Dalam hal pemberian sesaji berupa makanan dan sejenisnya kepada roh-roh atau penguasa, telah diarahkan kepada acara makan bersama yang dikenal dengan sebutan salimbangu Wanua.
Sehubungan dengan kepercayaan terhadap Ghenggonalangi, maka ahlak/kharakter manusia mendapat sorotan tajam terutama tentang sumbang sina. Dimana jika seseorang kedapatan melakukan perbuatan ini maka hukumannya adalah ditenggelamkan di laut.
Berdasarkan cerita turun-temurun yang melegenda di tengah masyarakat Suku Sangihe, dipercaya bahwa tenggelamnya sebagian dari pulau Sangihe pada abad ke XI merupakan hukuman terhadap  perbuatan sumbangsina Makakundai dengan Tampilangkahe. Demikian pula hilangnya kerajaan maselihe pada tahun 1711 adalah akibat perbuatan sumbangsina Samansialang dengan Tandingbulaeng.
Menurut cerita, yang teakhir mejalani hukuman berat itu adalah Bawantuse dan Kanangang yang timbul dan tenggelam lagi setelah mnyampaikan pesan : jika ada yang melakukan perbuatan sumbang sinah lagi, maka kami akan duduk di banjir, gempa bumi, di hama penyakit dll. Demikian seterusnya diyakini bahwa perbuatan yang tidak senonoh akan mendatangkan malapetaka bagi negeri itu sendiri.

Hubungan sebab akibat ini merupakan salah satu alasan perlu adanya pelaksanaan upacara adat Tulude di tengah masyarakat......(bersambung)

                                                                                                     (Narasumber: Nichlas Mehare) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar